English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Home » , » Frederic Kanoute (Pichichi) Ingin Jadi Muslim Sejati..!

Frederic Kanoute (Pichichi) Ingin Jadi Muslim Sejati..!

Written By Anonymous on Sunday, November 23, 2008 | 10:26 PM



“Jamaah di Ponce de Leon ini sangat beragam. Jika tidak ada Kanoute, maka kami tidak lagi mempunyai masjid, khususnya untuk shalat Jumat yang merupakan hari libur bagi kami kaum Muslimin,” Ungkapan kegembiraan ini seperti menghapus kecemasan yang selama ini menghantui kaum muslimin di Sevilla Spanyol Selatan.



Sebelumnya mereka didera kekhawatiran tidak akan mempunyai tempat lagi untuk beribadah. Pasalnya bangunan yang mereka kontrak dan disulap menjadi sebuah masjid, kontrak dan izinnya akan segera habis dan pemilik bangunan berniat menjual propertinya. Padahal masjid ini menjadi tumpuan utama kaum muslimin di Sevilla.

Frederic Kanoute sempat mendengar masalah ini dan memutuskan membeli bangunan tersebut. Jika tidak karena kemurahan hati dan uluran tangan striker club Sevilla berusia 30 tahun itu, boleh jadi kaum muslimin warga Sevilla akan kehilangan masjid dan kesulitan melakukan ibadah shalat Jumat.

Kanoute merogoh koceknya sebesar 510.860 euro atau setara dengan 700 ribu dolar AS (sekitar Rp 6,3 miliar) untuk menyelamatkan masjid di Sevilla itu agar tidak ditutup. Karena ia juga tidak ingin melihat saudara muslimnya yang sebagian besar migran dari Afrika Utara dan Afrika Barat tak lagi memiliki sebuah masjid di sebuah kota Eropa. Sementara pernyataan yang dikeluarkan klubnya hanya mengatakan bangunan itu memang telah ditawarkan, terletak di wilayah yang strategis, dan pembelian itu merupakan sebuah bentuk investasi yang normal. Pihak Balai Kota Sevilla mengonfirmasikan bangunan itu kini telah terdaftar dengan nama Kanoute.

Hal itu menarik perhatian banyak pihak sekaligus sangat melegakan bagi komunitas muslim tak hanya di Sevilla, tetapi juga seluruh Spanyol. Sebuah masjid kembali berdiri setelah sekian abad lenyap dari kota Isybiliyah nama sebenarnya dari Sevilla. Kota terbesar dari provinsi Andalusia, Spanyol, menjadi tempat di mana seluruh stereotype dan ciri khas Spanyol melekat. Matador dengan adu bantengnya, tarian flamenco, festival-festival yang dirayakan seluruh penduduk kota, produsen utama dari olive oil hingga sherry (wine spanyol).

Namanya mendadak melejit dalam percaturan bola di negeri matador ini. Frederic Kanoute, penyerang Sevilla, melesakkan empat gol dalam tiga pertandingan Liga Spanyol plus satu gol saat mengempaskan Barcelona 3-0 pada Piala Super Eropa. Dia berhak atas gelar pichichi (top scorer) Liga Spanyol bersama Samuel Eto’o dari Barcelona.

Suporter Sevilla menemukan idola baru dalam diri Kanoute sepeninggal Javier Saviola yang telah kembali ke Barcelona. Musim lalu Kanoute kalah pamor dibanding Saviola dan hanya mencetak enam gol sepanjang musim. Tapi si pemain justru menolak diidolakan secara berlebihan.

Fredi–panggilan akrabnya–lahir di Sainte-Foy-les-Lyon, kawasan metropolitan di pinggiran Lyon, kota terbesar kedua di Prancis setelah Paris. Ayahnya adalah warga negara Mali yang lantas menetap di Paris saat berusia 21 tahun dan menjadi pekerja pabrik. Sang ayah menikah dengan perempuan Prancis, seorang profesor filsafat–ibu Kanoute.

“Keluarga kami bukan keluarga miskin, tapi juga tidak terlalu kaya,” kata Kanoute. Pendidikan menjadi hal penting di keluarga mereka. Saudara laki-laki Fredi seorang doktor, saudara perempuannya guru sekolah perawat. Dia sendiri selalu diharapkan ayah-ibunya untuk masuk universitas.

“Tapi ayah, ibu, dan saudara-saudara saya tak keberatan saat saya memutuskan untuk berkarier sebagai pemain bola. Meski tentu saja mereka lebih suka bila saya meneruskan kuliah,” ceritanya sambil tertawa.

Terbiasa dengan pola pikir filosofis yang diterapkan ibunya, Kanoute tumbuh menjadi pemuda yang selalu haus mencari jati diri. Di sela-sela latihan dan pertandingannya sebagai pemain muda Olympique Lyon, Kanoute mencoba merenungkan arti hidup.

“Saat itu saya sudah berpikir, pasti ada yang lebih bermakna daripada sekadar sepak bola,” kenangnya. “Bukan berarti saya menganggap remeh sepak bola, bukan, sampai sekarang pun saya menganggap sepak bola penting bagi hidup saya.”

Dari situlah dia menemukan Islam. Kanoute muda mengenal Islam dari lingkungannya yang banyak dihuni para imigran dari Afrika bekas jajahan Prancis. Karena tertarik, dia lantas mencari buku-buku rujukan.

Tepat pada tahun pertama memulai karier profesional bersama Lyon, musim 1997/1998, saat usianya 20 tahun, dia mengucapkan kalimat syahadat. Namanya lantas berganti menjadi Frederic Oumar Kanoute. Dia kemudian menikahi perempuan keturunan Mali, Fatima. Mereka telah dikaruniai dua putra: Ibrahim, 5 tahun, dan Iman, 3 tahun 6 bulan.

”Saya sudah menghabiskan banyak waktu, merenung mengenai kepercayaan dan agama. Islam mampu membuktikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan sulit yang selalu membuat saya penasaran soal hidup,” kata Kanoute dengan yakin atas keputusannya.

‘Keputusan saya bukan tanpa alasan. Saya sudah menghabiskan banyak waktu merenung mengenai kepercayaan dan agama. Islam mampu membuktikan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan sulit yang selalu membuat saya penasaran soal hidup. Saya membaca dan terus membaca, sehingga akhirnya yakin telah melakukan sesuatu yang benar,” tutur Fredi, sapaan akrab Kanoute.

Sebelum memeluk Islam, Kanoute menjalani kehidupan sehari-hari layaknya pemain sepak bola; berlatih, bertanding, hura-hura, dan bermimpi suatu saat menjadi pemain bintang. Profesi sebagai pemain bola profesional saat ini, sungguh menjanjikan kehidupan serba wah. Penggemar di mana-mana, termasuk wanita-wanita cantik yang selalu mengelilingi atau mengejar mereka. Bayaran yang tinggi dan terkadang selangit, membuat pemain sepakbola menjadi bagian dari high class. Gaya hidup pun bisa berubah total. Ornamen-ornamen yang menjadi simbul kelas mereka, sering menjadi perhiasan para pemain sepakbola. Banyak uang, ditambah gaya hidupnya liar dan jelas nggak punya keimanan, membuat mereka jadi hedonis.

Ketika budaya selebritis merasuki para pemain sepakbola, gaya hidup pun berubah. Awalnya karena kontrak gila-gilaan yang mendatangkan uang berlimpah. Kemudian menjadi idola yang dipuja-puji dan selalu menghiasai halaman surat kabar. Lambat laun terseret pula ke dalam kehidupan gemerlap.

Berangkat dari orang biasa kemudian berselimut kemegahan sampai gaya hidup yang membuat mereka kehilangan kontrol. Mengakrabi dunia pesta, tinggal di sebuah rumah mewah di dekat pantai. Bergaul dengan kaum jet set. Minuman dan narkoba mulai menjadi bagian dari gaya hidup. Diperlakukan bak dewa, bebas melakukan apa saja. Terbius gaya hidup pesta pora, mabuk minuman keras atau fly karena pengaruh kokain. Sampai pada akhirnya hidup pun terancam. Pengaruh minuman keras dan narkoba telah menggerogoti tubuh hingga sulit meninggalkan diri dari ketergantungan alkohol dan narkoba.

Mereka punya permainan luar biasa yang membuat dunia terpesona. Tapi, mereka sendiri yang mengakhiri kisah indah itu dengan gaya hidup yang konsumtif terhadap minuman keras dan narkoba. Zat-zat setan itu tak hanya menghancurkan karier dan kehidupan mereka, tapi juga mencoreng nama baik mereka. Olahraga yang semestinya dekat dengan pola hidup sehat malah menghancurkan kehidupan. Tragis memang!!!

Namun tidak begitu dengan tokoh kita ini, meski amat mencintai sepak bola, Kanoute tetap meyakini ada sesuatu yang lebih penting dalam hidupnya. ”Saya pikir ada sesuatu yang lebih besar dibanding sepak bola. Tapi bukan berarti sepak bola tak penting. Yang jelas saya mendapat pencerahan saat menjadi Muslim. Aturan dan hukum Islam menjadi model terbaik saya dalam menjalani hidup. Islam membantu saya menjalani hidup yang benar,” tegas Kanoute, yang pernah menjadi striker andalan di klub Liga Primer Inggris, Tottenham Hotspur. Bukan tanpa halangan ketika Kanoute memutuskan memeluk Islam.

Apalagi di saat media-media Barat selalu memberitakan fanatisme Islam sangat berbahaya dan memicu aksi terorisme. ”Situasinya memang sangat sulit,” ungkap Kanoute.

”Saya selalu menjawab bahwa mereka yang terlalu fanatik dan berbuat teror hanyalah segelintir umat Islam di dunia. Bukan berarti publik Barat bisa menghakimi seluruh umat Islam. Islam selalu mengajarkan pemeluknya untuk hidup dengan benar dalam perdamaian.”

Tak sekadar mengeluarkan bantahan, Kanoute menerapkan perilaku Islami saat bertemu publik, baik di ruang pers maupun saat latihan di tempat latihan Spurs di Chigwell. Pemain yang murah senyum dan berbicara hati-hati ini tak mengikuti gaya para pesepak bola Inggris yang gemar mengenakan anting berlian, mengecat rambut, dan mengendarai mobil mewah.

Frederic Kanoute, terpilih sebagai pemain kelahiran Eropa pertama yang dinobatkan sebagai pemain terbaik Afrika tahun 2007. Kanoute juga menjadi pemain Mali pertama yang menjadi pemain terbaik Afrika setelah Salif Keita pada tahun 1970.

Penghargaan itu diumumkan Konfederasi Sepak Bola Afrika (CAS) di Lome, Togo, Jumat malam, melalui penetapan berdasarkan voting 57 pelatih tim nassional(timnas) anggota CAS. Kanaoute mengalahkan dua kandidat lain, yakni gelandang dan striker Chelsea, Michael Essien (Ghana) dan Didier Drogba (Pantai Gading).

Sebelumnya striker berusia 30 tahun itu masuk nominasi sebagai pemain terbaik atas perannya meloloskan Mali ke putaran final Piala Afrika 2008. Dia juga membantu Sevilla juara Piala UEFA dan Piala Raja tahun lalu.

Selanjutnya Baca DISINI

Pengen jadi muslim kayak Kanoute ... Sudah kaya tapi bisa dakwah...KEREN ABIS....

Artikel terkait:
http://agama.infogue.com/



Last edited by kaitokid724; 06-24-2008 at 04:30. Reason: biar mantaaap

0 komentar:

Formulir Kemitraan
LOC of USA

FORMULIR KEMITRAAN

Klik di sini untuk pengisian formulir kemitraan usaha waralaba
 
Support : Webrizal | Tutorial | My Opini
Copyright © 2009-2021. Pergerakan Islam - All Rights Reserved
Template Recreated by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger